15/02/2012

100

Seratus hari.
Benda itu masih bertengger disana, membuat ruang tamu kami terlihat seperti foto hitam putih karena tidak ada satu benda lain pun yang dapat menyaingi kilauannya. Bahkan tidak juga benda-benda serupa, yang memang mulai kehilangan cahayanya dan tidak lagi menarik mata.

Dia tidak hanya baru. Dia sesuatu yang sudah lama ditunggu. Benda itu merupakan benda mati pertama di meja pajang kami yang berasosiasi langsung denganku, dan menjadi simbol kebanggan diri. Simbol kebanggan diri Mama dan Papa-ku, bukan aku. Bagiku, dia hanyalah tiket yang harus ku dapatkan demi untuk dapat masuk ke dalam wilayah pandang orangtuaku.

Sudah seratus hari aku mencari momen yang tepat, saat dimana aku bisa membuang benda itu secara sembunyi-sembunyi. Saat yang aku yakini akan dapat memerdekakanku dari rasa terhantui dan membawaku kembali ke diriku yang dulu lagi. Diriku yang selalu bangga dengan hanya menjadi diriku sendiri. Tapi niatku selalu pupus ketika membayangkan bagaimana reaksi kedua orangtuaku nanti. Tidak akan menyenangkan, yang pasti. Lagipula, separuh dari diriku sejujurnya masih ingin menikmati segala puji yang ditujukan untukku hingga hari ini. Sementara separuhnya lagi menggedor-gedor pintu hati, menuntut kejujuran untuk keluar dengan berani demi menyatukan kembali berbagai diriku yang kini saling benci.

Sering aku merasa benda-benda itulah anak kedua orangtuaku sesungguhnya. Benda-benda keemasan yang dari hari ke hari semakin memadati meja pajang kami, hingga akhirnya Mama memutuskan untuk mengganti meja itu dengan lemari. Lemari kayu lebar dengan pintu kaca sejernih air yang mengalir di kaki gunung. Lemari itulah gunung di rumahku. Spot wisata termegah di ruang tamu.

Jika ada orang datang bertamu, Papa akan dengan senang hati membawa mereka berwisata menyusuri benda-benda itu hingga ke puncaknya yang menjulang dan bertingkat tiga. Di atas sana, benda berumur seratus hari itu berada. Dan disana Papa akan memanggilku, memintaku menjelaskan pemandangan yang kulihat di puncak itu pada seluruh pengunjung ruang tamu. Mereka semua akan berdecak kagum memujiku sementara iri pada keberuntungan kedua orangtuaku. Dan aku dapat merasakan kejujuran dalam diriku semakin terdesak kedalam, hampir membunuh dirinya sendiri karena tidak tahan menghadapi tekanan.

“Berhentilah memikirkan keinginanmu sendiri.” Kata kakakku. Dia sudah berada dalam mode auto-pilot sejak lama, sejak Ia ditolak oleh sekolah dasar idamannya. Sejak saat itu, dengan ringan Ia menyerahkan kemudi hidupnya ke tangan Mama. “Toh, buktinya tidak ada dari kita yang hidup menderita karena mengikuti kehendak orangtua.” Kata-kata ‘restu Ibu’ bukan sekedar grafiti di truk pengangkut batu, tambahnya. “Opo kamu mau, jadi anak durhaka?”

Aku bergidik. Malin Kundang merupakan cerita horor pertama dalam hidupku, meski kini aku yakin bahwa cerita itu hanya karangan orangtua untuk menanamkan nilai-nilai hormat dan patuh dalam diri anak-anak jaman dulu. Lagipula, aku tidak berniat menelantarkan orangtuaku seperti si Malin kurang ajar itu. Aku hanya ingin Mama dan Papa dapat memandangku tanpa aku perlu mengenakan jubah emasku. Memandangku karena aku bahagia melakukan apa yang hatiku mau. Aku dengar mereka tersenyum saat tahu bahwa aku lahir sehat dan sempurna, apakah saat ini sudah terlalu sulit untuk merasa bahagia atas alasan sederhana?

“Kalau kamu nggak suka dengan cara Mama, Papa, ya nggak usah ditiru nanti kalo kamu membesarkan anak-anakmu.” Kakakku berbicara setengah berbisik agar tidak menganggu mimpi balita yang tengah terlelap dalam pelukannya. Balita lucu itu Ayu, buah hatinya dan Mas Danu. Mas Danu adalah jodoh yang dipilihkan Papa untuk kakakku. “Tapi ya sebaiknya kita berusaha mewujudkan keinginan beliau-beliau dulu, dek.”

Aku yang semenjak tadi memandangi kakakku dari atas tempat tidur kini berbalik memandangi tembok putih yang berhimpitan dengan kasur. Rasanya seperti melihat hal yang sama. Kakakku dan tembok ini sama lempengnya, sama putihnya. Aku iri pada kepolosannya. Sedikit banyak, aku memahami alasannya.

Kami tahu betul berapa banyak mimpi orangtua kami yang harus mati demi membangun keluarga ini. Semua berawal dari Mama yang mengandung kakakku di luar nikah, padahal saat itu Papa masih duduk di bangku kuliah. Gelar yang cukup prestisius itu pun terpaksa dilepasnya, karena Kakekku bersikeras bahwa calon menantunya harus sudah mampu berpenghasilan dan punya rumah sendiri. Alhasil dinikahilah Mama meski bermodal hutang dimana-mana.

Mama yang baru lulus SMA pun batal melanjutkan sekolahnya ke Amerika. Mama yang saat itu masih sangat belia, dan Papa yang telah menyusun banyak agenda hingga masa tua tiba, merelakan mimpi-mimpi mereka tumbang satu persatu, demi memulai kehidupan tak terencana bersama di sebuah rumah kecil di Jogja. Kedua Nenek dan Kakekku tidak memberikan modal apapun selain mas kawin dan restu. Selalu menakjubkan apabila kami menengok ke belakang, mengetahui bagaimana mereka berjuang, sampai kami dapat hidup dengan leluasa seperti sekarang.

Meski pilihan untuk menggugurkan kakakku dan kembali menjalani hidup seolah tidak pernah terjadi apa-apa selalu ada, mereka tidak melakukannya. Meski pilihan untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka tidak pernah pergi kemana-mana, mereka mengacuhkannya. Bisa saja mereka lari, sehingga aku tidak akan pernah lahir ke dunia ini... tapi bukan itu yang terjadi. Bisa saja mereka membenci kami karena tidak menginginkan kami, tapi sebaliknya mereka memamerkan kami seolah kami perhiasan yang tak ternilai harganya, seolah kami adalah mimpi mereka yang mewujud nyata.
Kenyataan itu menghantamku, membuatku malu karena berpikir aku telah membayar mahal untuk sebuah pengorbanan yang mungkin hanya seper sejuta dari semua yang telah mereka korbankan untukku dan kakakku..

“Selama kamu masih bisa, lakukan saja dulu. Lakukan untuk mereka yang telah menukarkan kesempatan untuk melakukannya dengan kesempatan untuk menjadi orangtua kita.” Kakakku berujar lembut, membawaku kembali menatap kedua matanya. “Setelah itu, kamu bebas jadi apapun yang kamu mau.” Ia mengelus kepalaku dengan satu tangannya masih mendekap Ayu, tersenyum, lalu mengucapkan selamat tidur.

Seratus hari yang lalu adalah kali pertama aku berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari Mama dan Papa. Ratusan hari-hari sebelumnya, aku tidak pernah mau bersaing dengan kakakku yang selalu berusaha membuat keduanya bangga. Aku hanya ingin dicintai apa adanya, melakukan apa yang aku suka meski tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Malam ini, rasanya aku sedikit lebih mengerti.
Kaki-kaki ini adalah perpanjangan dari kaki kedua orangtua kami, yang akan melangkah ke tempat-tempat yang belum sempat mereka kunjungi. Mata kami adalah mata-mata ekstra yang akan melihat hal-hal yang belum sempat dilihat oleh kedua mata mereka. Mimpi-mimpi mereka, mulai saat ini, akan menjadi mimpi-mimpiku juga, yang akan selalu coba ku wujudkan... mungkin sampai aku mati.

Dan di sela-sela itu, aku masih bebas melakukan apa saja yang hatiku mau.

1 comment:

  1. Nggak ngerti sama 'apa benda 100 hari' itu tapi kata2 yang dipakai... haduuuh :') terharu, Mbak

    ReplyDelete