15/05/2015


Saya ngga ingat betul seleb mana yang mengatakan, "biasakan untuk menghitung setidaknya tiga berkah dalam hidup setiap hari sebelum tidur" tapi saya tidak pernah lupa untuk menuruti kata-katanya. Bahkan jauh sebelum saya berfikir soal "kenapa?", saya sudah terbiasa untuk berterimakasih tanpa instruksi, meski bukan lewat cara-cara yang biasa dilakukan orang-orang pada umumnya (atau cara-cara yang disugestikan oleh Mama).

Saya punya ritual saya sendiri. Biasanya saya akan melempar diri saya jauh ke belakang. Saya bisa begitu saja menghempaskan diri ke samudera memori selektif untuk menyelam, jauh dan dalam, tanpa pernah perlu merasa takut tenggelam. Dan ketika saya kembali ke permukaan, saya akan selalu bisa menemukan diri saya yang berterimakasih. Tanpa pretensi, tanpa ketakutan.


Malam ini sebelum berangkat tidur saya ingin berterimakasih untuk satu hal yang selalu ada sejak 20 bulan kebelakang. Lalu, karena saya yakin saya tidak akan pernah merasakan hal yang sama jika saya tidak pernah tahu rasanya ditendang, dibanting, dan dihantam, saya juga ingin berterimakasih atas 20 bulan sebelumnya, dan 20 bulan sebelumnya, dan sebelum-sebelum-sebelumnya sampai di momen ketika mata saya bertemu dengan mata Mama untuk kali pertama.

Ada sedikit penyesalan yang tertinggal disana dan disini; tapi biarlah mereka menjadi gravitasi yang mengikat saya untuk tetap berpijak pada bumi. Toh, saya sudah tahu apa jadinya kalau manusia terlanjur terbang terlalu tinggi. 


Untuk hal-yang-selalu-ada-sejak-20-bulan-kebelakang itu: saya ingin berterimakasih karena telah dipercaya dan dipilih, meski resume saya jauh dari gemilang (tapi kalau saya tidak pernah gagal, kita tidak akan pernah ada, bukan?). Saya ingin berterimakasih karena selalu dianggap sempurna dengan segala kecacatan yang saya punya. Saya ingin berterimakasih karena selalu dikritik, ditertawakan, dan ditantang untuk melakukan yang lebih dari yang saya bisa.
Lalu kembali, pada Yang Segala: saya ingin berterimakasih atas sifatnya yang tidak mudah menyerah dan keras kepala, atas seleranya yang tidak biasa sehingga dia mau berurusan dengan kasus rumit seperti saya. Saya tahu ini bukan pemberian cuma-cuma; saya tidak boleh lupa untuk memberinya bahagia karena dia berhak mendapatkan setiap detiknya.

Maka buatlah saya pantas untuk memberikan setiap detiknya.



29/01/2015

There's always gonna be an infinite loop of us,
playing on the side as I step into tomorrow.

I have been writing letters for you in a language you'd never understand.
I have walked with you longer and further since the day we part ways.
I have been holding you close at night, alone. 

Tonight I shall wave my hand to both of us in our younger years.
Where they will be safe forever,
untouched by the uncertainty of their future,
unknowing of what's been decided on the day we were born.

02/11/2013

So Maybe I’m An Option (But I’m A Great One)

So maybe I’m not the only one in your universe. In fact, I never was and I never will. Why am I not surprised? Once you said that you’ve always wanted to be an Astronaut. I can tell that you are obsessed with the stars. And if you’ve spend your whole life gazing at the starry night sky, then us girls are the stars; there are just too much of us for you to focus on seeing just one. You wouldn’t want to miss anything. Lord knows how vast the possibilities are!

Have you ever thought of owning all those stars under your very own name? Yes, of course. But we both know you are no longer that guy. Years have passed and you got older and life has made you a little wiser. One fateful day, you decided to raise your game up a little, which resulted in you becoming a lot closer to the idea of monogamy, far much closer than you have ever been your whole life. It was shocking to you as well that in just a couple of months you already owns the concept of faithfulness and commitment. Things are going really great, so great that it lets you down. Is this it? It doesn’t seem to have given you much reward like you have imagined in the first place. After a couple of months being “in love” there were only series of fighting, pushed reconciliation, and worst: it gives undesirable limits to your freedom.“Everyday is a round-trip from hell to heaven” You then wondered why hasn’t anyone that sells relationship ever mentioned this to you before.

This definitely isn’t what you want, so you asked for your money, and freedom, back. And you made it, you became an Astronout. You are now floating in space with billions of stars becoming more and more exposed to your eyes. Not an ounce of gravity exist to control you. You are completely free to see, feel, and name every single one of those stars all you want. You can’t help but to feel overwhelmed by the endless possibilities. The more you think of it, the more you realize that there is no end to what you can have. And as the amount of oxygen in your spacesuit decreases, you then also realize that there will never be enough o2 for you to float about space forever. In fact, there will never be enough life to experience everything that the universe has to offer.

So maybe I’m just that one insignificant floating rock in your night sky. I’m not that big, hot Sun that attracts all nine planets to faithfully gravitate around her for a million years. I wouldn’t want you to pick me because I’m that hot of a star either. I want you to pick me after a good thought and consideration, after a nice trip around this big old space, and came back. I want to be that star, the one you registered on your radar so you’ll always know how to find me again, and you will always find me again for I am your favorite star.

So go on and have a nice trip around space whilst I shine. In the end, it’s either I wait long enough until I blew up into million little pieces, or you travel far and long enough to spend all the oxygen in your spacesuit's tanks.

05/03/2013

"Adek, menurut kamu waktu itu apa?"


 
Saya bilang waktu itu tanggung jawab. 
Mama bilang waktu itu nyawa. 

Kemudian, seolah sedang membacakan soal cerita matematika anak Sekolah Dasar, beliau melanjutkan, “Umur Mama sekarang hampir 60. Taroh lah Mama hidup sampai umur 75, berarti Mama cuma punya 15 tahun lagi. 15 tahun dikali 365 hari, berarti kurang lebih sisa usia Mama tinggal 5500an hari... dan setiap usia Mama bertambah sehari, usia Mama juga berkurang sehari... tapi itu juga kalo Allah ngasih Mama hidup sampai umur 75."

Saya hanya bisa memeluknya.


Tuhan, saya sadar saya sedang berlomba, dan kali ini, ijinkan saya untuk jadi pemenangnya.

15/02/2012

100

Seratus hari.
Benda itu masih bertengger disana, membuat ruang tamu kami terlihat seperti foto hitam putih karena tidak ada satu benda lain pun yang dapat menyaingi kilauannya. Bahkan tidak juga benda-benda serupa, yang memang mulai kehilangan cahayanya dan tidak lagi menarik mata.

Dia tidak hanya baru. Dia sesuatu yang sudah lama ditunggu. Benda itu merupakan benda mati pertama di meja pajang kami yang berasosiasi langsung denganku, dan menjadi simbol kebanggan diri. Simbol kebanggan diri Mama dan Papa-ku, bukan aku. Bagiku, dia hanyalah tiket yang harus ku dapatkan demi untuk dapat masuk ke dalam wilayah pandang orangtuaku.

Sudah seratus hari aku mencari momen yang tepat, saat dimana aku bisa membuang benda itu secara sembunyi-sembunyi. Saat yang aku yakini akan dapat memerdekakanku dari rasa terhantui dan membawaku kembali ke diriku yang dulu lagi. Diriku yang selalu bangga dengan hanya menjadi diriku sendiri. Tapi niatku selalu pupus ketika membayangkan bagaimana reaksi kedua orangtuaku nanti. Tidak akan menyenangkan, yang pasti. Lagipula, separuh dari diriku sejujurnya masih ingin menikmati segala puji yang ditujukan untukku hingga hari ini. Sementara separuhnya lagi menggedor-gedor pintu hati, menuntut kejujuran untuk keluar dengan berani demi menyatukan kembali berbagai diriku yang kini saling benci.

Sering aku merasa benda-benda itulah anak kedua orangtuaku sesungguhnya. Benda-benda keemasan yang dari hari ke hari semakin memadati meja pajang kami, hingga akhirnya Mama memutuskan untuk mengganti meja itu dengan lemari. Lemari kayu lebar dengan pintu kaca sejernih air yang mengalir di kaki gunung. Lemari itulah gunung di rumahku. Spot wisata termegah di ruang tamu.

Jika ada orang datang bertamu, Papa akan dengan senang hati membawa mereka berwisata menyusuri benda-benda itu hingga ke puncaknya yang menjulang dan bertingkat tiga. Di atas sana, benda berumur seratus hari itu berada. Dan disana Papa akan memanggilku, memintaku menjelaskan pemandangan yang kulihat di puncak itu pada seluruh pengunjung ruang tamu. Mereka semua akan berdecak kagum memujiku sementara iri pada keberuntungan kedua orangtuaku. Dan aku dapat merasakan kejujuran dalam diriku semakin terdesak kedalam, hampir membunuh dirinya sendiri karena tidak tahan menghadapi tekanan.

“Berhentilah memikirkan keinginanmu sendiri.” Kata kakakku. Dia sudah berada dalam mode auto-pilot sejak lama, sejak Ia ditolak oleh sekolah dasar idamannya. Sejak saat itu, dengan ringan Ia menyerahkan kemudi hidupnya ke tangan Mama. “Toh, buktinya tidak ada dari kita yang hidup menderita karena mengikuti kehendak orangtua.” Kata-kata ‘restu Ibu’ bukan sekedar grafiti di truk pengangkut batu, tambahnya. “Opo kamu mau, jadi anak durhaka?”

Aku bergidik. Malin Kundang merupakan cerita horor pertama dalam hidupku, meski kini aku yakin bahwa cerita itu hanya karangan orangtua untuk menanamkan nilai-nilai hormat dan patuh dalam diri anak-anak jaman dulu. Lagipula, aku tidak berniat menelantarkan orangtuaku seperti si Malin kurang ajar itu. Aku hanya ingin Mama dan Papa dapat memandangku tanpa aku perlu mengenakan jubah emasku. Memandangku karena aku bahagia melakukan apa yang hatiku mau. Aku dengar mereka tersenyum saat tahu bahwa aku lahir sehat dan sempurna, apakah saat ini sudah terlalu sulit untuk merasa bahagia atas alasan sederhana?

“Kalau kamu nggak suka dengan cara Mama, Papa, ya nggak usah ditiru nanti kalo kamu membesarkan anak-anakmu.” Kakakku berbicara setengah berbisik agar tidak menganggu mimpi balita yang tengah terlelap dalam pelukannya. Balita lucu itu Ayu, buah hatinya dan Mas Danu. Mas Danu adalah jodoh yang dipilihkan Papa untuk kakakku. “Tapi ya sebaiknya kita berusaha mewujudkan keinginan beliau-beliau dulu, dek.”

Aku yang semenjak tadi memandangi kakakku dari atas tempat tidur kini berbalik memandangi tembok putih yang berhimpitan dengan kasur. Rasanya seperti melihat hal yang sama. Kakakku dan tembok ini sama lempengnya, sama putihnya. Aku iri pada kepolosannya. Sedikit banyak, aku memahami alasannya.

Kami tahu betul berapa banyak mimpi orangtua kami yang harus mati demi membangun keluarga ini. Semua berawal dari Mama yang mengandung kakakku di luar nikah, padahal saat itu Papa masih duduk di bangku kuliah. Gelar yang cukup prestisius itu pun terpaksa dilepasnya, karena Kakekku bersikeras bahwa calon menantunya harus sudah mampu berpenghasilan dan punya rumah sendiri. Alhasil dinikahilah Mama meski bermodal hutang dimana-mana.

Mama yang baru lulus SMA pun batal melanjutkan sekolahnya ke Amerika. Mama yang saat itu masih sangat belia, dan Papa yang telah menyusun banyak agenda hingga masa tua tiba, merelakan mimpi-mimpi mereka tumbang satu persatu, demi memulai kehidupan tak terencana bersama di sebuah rumah kecil di Jogja. Kedua Nenek dan Kakekku tidak memberikan modal apapun selain mas kawin dan restu. Selalu menakjubkan apabila kami menengok ke belakang, mengetahui bagaimana mereka berjuang, sampai kami dapat hidup dengan leluasa seperti sekarang.

Meski pilihan untuk menggugurkan kakakku dan kembali menjalani hidup seolah tidak pernah terjadi apa-apa selalu ada, mereka tidak melakukannya. Meski pilihan untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka tidak pernah pergi kemana-mana, mereka mengacuhkannya. Bisa saja mereka lari, sehingga aku tidak akan pernah lahir ke dunia ini... tapi bukan itu yang terjadi. Bisa saja mereka membenci kami karena tidak menginginkan kami, tapi sebaliknya mereka memamerkan kami seolah kami perhiasan yang tak ternilai harganya, seolah kami adalah mimpi mereka yang mewujud nyata.
Kenyataan itu menghantamku, membuatku malu karena berpikir aku telah membayar mahal untuk sebuah pengorbanan yang mungkin hanya seper sejuta dari semua yang telah mereka korbankan untukku dan kakakku..

“Selama kamu masih bisa, lakukan saja dulu. Lakukan untuk mereka yang telah menukarkan kesempatan untuk melakukannya dengan kesempatan untuk menjadi orangtua kita.” Kakakku berujar lembut, membawaku kembali menatap kedua matanya. “Setelah itu, kamu bebas jadi apapun yang kamu mau.” Ia mengelus kepalaku dengan satu tangannya masih mendekap Ayu, tersenyum, lalu mengucapkan selamat tidur.

Seratus hari yang lalu adalah kali pertama aku berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari Mama dan Papa. Ratusan hari-hari sebelumnya, aku tidak pernah mau bersaing dengan kakakku yang selalu berusaha membuat keduanya bangga. Aku hanya ingin dicintai apa adanya, melakukan apa yang aku suka meski tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Malam ini, rasanya aku sedikit lebih mengerti.
Kaki-kaki ini adalah perpanjangan dari kaki kedua orangtua kami, yang akan melangkah ke tempat-tempat yang belum sempat mereka kunjungi. Mata kami adalah mata-mata ekstra yang akan melihat hal-hal yang belum sempat dilihat oleh kedua mata mereka. Mimpi-mimpi mereka, mulai saat ini, akan menjadi mimpi-mimpiku juga, yang akan selalu coba ku wujudkan... mungkin sampai aku mati.

Dan di sela-sela itu, aku masih bebas melakukan apa saja yang hatiku mau.